Wali Kota Langsa Minta Bupati Aceh Timur Jangan seperti Debt Collector

Wali Kota Langsa Minta Bupati Aceh Timur Jangan seperti Debt Collector

timormedia.org – Sengketa aset antara Pemerintah Kota Langsa dan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur menjadi sorotan setelah Wali Kota Langsa, Jeffry Sentana S Putra, memberikan pernyataan tegas kepada Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky. Dalam pernyataannya, Wali Kota Langsa meminta Bupati untuk tidak bersikap seperti debt collector (penagih hutang) dalam menuntut pembayaran kompensasi pengalihan Barang Milik Daerah (BMD).

Perselisihan ini mencuat ke publik setelah Bupati Aceh Timur mengeluarkan ultimatum tegas agar kompensasi atas aset senilai Rp16 miliar segera dibayar. Jika tidak, Bupati menegaskan akan mengambil kembali aset tersebut secara sepihak. Situasi ini memunculkan ketegangan yang menjadi perhatian masyarakat dan pemerhati politik daerah.

Artikel ini akan menguraikan kronologi sengketa aset, sikap masing-masing pemimpin daerah, hingga implikasi sosial dan politik dari konflik ini secara mendalam dan profesional.

Kronologi Sengketa Aset Antara Kota Langsa dan Aceh Timur

Sengketa bermula ketika Pemerintah Kabupaten Aceh Timur mengajukan klaim atas sejumlah aset yang berada di wilayah Kota Langsa dan meminta kompensasi pengalihan BMD senilai puluhan miliar rupiah. Pada 4 Juli 2022, kedua pemerintah daerah pernah menandatangani perjanjian terkait hal ini yang juga diketahui Gubernur Aceh saat itu.

Namun hingga Agustus 2025, pembayaran kompensasi tersebut belum tuntas. Bupati Aceh Timur kemudian mengeluarkan surat resmi tertanggal 25 Agustus 2025 yang berisi ultimatum kepada Wali Kota Langsa untuk melunasi kompensasi sebelum 2 September 2025. Surat tersebut ditembuskan kepada Gubernur Aceh dan berbagai lembaga legislatif serta pengawas seperti DPRA dan KPK.

Surat ultimatum ini menegaskan bahwa jika kewajiban tidak dipenuhi, Pemkab Aceh Timur akan mengambil kembali aset yang menjadi haknya secara sepihak. Surat tersebut menimbulkan tekanan kuat bagi Pemerintah Kota Langsa dan membuka ruang polemik.

Sikap Wali Kota Langsa dan Permintaan Tidak Jadi Debt Collector

Menanggapi ultimatum Bupati Aceh Timur, Wali Kota Langsa Jeffry Sentana S Putra memberikan jawaban yang cukup tegas namun juga mengedepankan sikap dialog. Jeffry menghormati sikap tegas bupati yang menegakkan komitmen aset, namun dia meminta untuk tidak bersikap “seperti debt collector.”

Menurut Jeffry, proses pembayaran kompensasi perlu dilaksanakan secara hati-hati, akuntabel, dan dengan tata kelola keuangan daerah yang baik serta tertib administrasi. Ia juga menegaskan bahwa Pemko Langsa sudah memiliki komitmen kuat untuk menyelesaikan kewajiban tersebut, meski membutuhkan waktu karena adanya penyesuaian teknis dan regulasi.

Ia juga mendorong agar penyelesaian dilakukan secara bersama-sama dengan cara yang elegan dan kolaboratif, bukan dengan ancaman yang berdampak pada hubungan baik antar daerah. Skema penyelesaian kompensasi pun sedang difinalisasi dengan partisipasi legislatif Kota Langsa.

Dampak Sosial dan Politik Sengketa Aset Ini

Sengketa aset ini menimbulkan perhatian luas karena tidak hanya menyangkut soal hukum dan keuangan, tapi juga hubungan antar pemerintah daerah yang pada dasarnya bersaudara. Konflik yang muncul dapat mempengaruhi kestabilan politik dan kemajuan pembangunan di wilayah Aceh Timur dan Kota Langsa.

Publik dan pengamat menilai bahwa penyelesaian masalah harus segera ditempuh agar tidak berlarut dan menciptakan suasana tegang. Komunikasi yang efektif dan pengelolaan konflik yang baik penting supaya kedua pihak dapat kembali fokus pada pelayanan publik dan pembangunan daerah.

Polemik yang beredar di media sebaiknya dihentikan dan diganti dengan dialog yang konstruktif sehingga masalah aset bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan hukum yang berlaku.

Penutup: Harapan Penyelesaian Damai dan Kolaborasi Antar Kepala Daerah

Sengketa antara Wali Kota Langsa dan Bupati Aceh Timur ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah lain di Indonesia agar menyelesaikan perbedaan dengan cara damai dan profesional. Dialog, transparansi, dan komunikasi menjadi kunci utama menjaga hubungan baik antar kepala daerah.

Harapan besar dari masyarakat dan pemangku kepentingan agar persoalan aset ini bisa rampung dengan mudah tanpa mengorbankan persaudaraan dan kemajuan bersama. Penyelesaian yang bersifat kolaboratif diharapkan membawa manfaat bagi pembangunan dan kualitas hidup warga kedua daerah.

Semoga para pemimpin daerah tetap komit dalam menjalankan amanah serta memprioritaskan kemaslahatan rakyat di atas kepentingan sesaat.